Jumat, 03 Juli 2009

DRUG RELATED PROBLEM

2.1. Definisi
Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara: mengobati penyakit pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan (Drug Related Problem).
Drug Related Problem (DRP) dapat didefinisikan sebagai kejadian tidak di inginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan.

2.2. Komponen DRP
Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut :
1. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien
Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability) atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
2. hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat
Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.
Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Menyelesaikan masalah
3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP

2.3. Klasifikasi DRP
2.3.1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.

2.3.2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
 Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
- Amoksisillin
- Parasetamol
- Gliseril Guaiakolat
- Deksametason
- CTM
- Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
 Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya
- frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
- cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.
 Durasi dari terapi
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.

2.3.3 Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.

3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.

2.3.4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :


a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.

2.3.5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

2.3.6 Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.
2. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
Mekanisme interaksi obat, yakni :
a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktifasi obat.
Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.
b. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiko kimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya. Misalnya, penggunaan ketokonazol dan paracetamol secara bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme paracetamol oleh ketokonazol sehingga kadar paracetamol meningkat.
c. Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Misalnya, penggunaan warfarin dan aspirin dapat meningkatkan terjadinya perdarahan.

1 komentar:

  1. Boleh tanya tentang buku atau refernsi lain tentang DRPs pak?

    BalasHapus