A. BAHASA LATIN, SINGKATAN DAN ARTINYA
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
A
1
aa.
ana
masing - masing
2
a.c.
ante coenam
sebelum makan
3
a.d.
auris dextrae
telinga kanan
4
a.h.
alternis horis
selang satu jam
5
a.l.
auris laevae
telinga kiri
6
a.m.
ante meridiem
sebelum tengah hari
7
a.p.
ante prandium
sebelum sarapan pagi
8
aa p.aeq.
ana partes aequales
masing - masing sama banyak
9
abs.febr.
absente febre
bila tidak demam
10
accur.
accurate
cermat
11
ad.
ad
sampai
12
ad 2 vic.
ad duas vices
untuk dua kali
13
ad aur.
ad aurem
pada telinga
14
ad chart.cer.
ad chartam ceratam
pada kertas berlilin
15
ad chart.perg.
ad chartam pergameneam
pada kertas perkamen
16
ad grat.sap.
ad gratum saporem
sampai ada rasanya
17
ad hum.
ad humectandum
untuk membasahkan
18
ad infl.
ad inflandum
untuk disemprot
19
ad libit.
ad libitum
sesukanya
20
ad oll.alb.
ad ollam albam
dalam pot putih
21
ad oll.gris.
ad ollam griseam
dalam pot abu-abu
22
ad scatul.
ad scatulam
dalam dus
23
ad us.ext.
ad usum externum
untuk pemakaian luar
24
ad us.in.
ad usum internum
untuk pemakaian dalam
25
ad us.prop.
ad usum proprium
untuk pemakaian sendiri
26
ad vitr.alb.
ad vitrum album
dalam botol putih
27
ad vitr.ampl.
ad vitrum amplum
dalam botol bermulut lebar
28
ad vitr.fusc.
ad vitrum fuscum
dalam botol coklat
29
ad vitr. nigr.
ad vitrum nigrum
dalam botol hitam
30
add.
adde
tambahkan
31
adh.
adhibere
gunakan
32
ads.febr.
adsante febre
diwaktu demam
33
aeq.
aequalis
sama
34
aequab.
aequabilis
rata
35
aff.
affunde
dituangkan
36
aggred.febr.
aggrediente febre
diwaktu demam
37
agit.
agitatio
kocok
38
alb.
alba , albus
putih
39
alt.h.
alternis horis
selang satu jam
40
alt.hor.
alternis horis
selang satu jam
41
alt.d.
alternis die
selang satu hari
42
amb.
ambo
kedua - duanya
43
ampl.
ampulla
ampul
44
ante
ante
sebelum
45
applic.
applicatur
digunakan
46
apt.
aptus
cocok
47
aq.bidest.
aqua bidestillata
air suling dua kali
48
aq.bull.
aqua bulliens
air mendidih
49
aq.coct.
aqua cocta
air matang
50
aq.cois.
aqua communis
air biasa
51
aq.comm.
aqua communis
air biasa
52
aq.dest.
aqua destillata
air suling
53
aq.ferv.
aqua fervida
air panas
54
aq.pat.
aqua patabilis
air minum
55
aur.
auris
telinga
56
aurist.
auristillae
obat tetes telinga
B.
57
b.
bis
dua kali
58
bac.
bacilla
basila (sediaan benntuk batang)
59
bals.peruv.
balsamum peruvianum
peru balsem
60
b.in d.
bis in die
dua kali sehari
61
b.d.d.
bis de die
dua kali sehari
62
bid.
biduum
waktu dua hari
63
bol.
boli
pil besar
C.
64
c.
cum
dengan
65
C., cochl.
cochlear
sendok makan
66
c.m.
cras mane
besok pagi
67
c.n.
cras nocte
besok malam
68
C.p.
cochlear pultis
sendok bubur
69
C.p.
cochlear parvum
sendok bubur
70
C.th.
cochlear thea
sendok teh
71
cal.
calore
oleh panas
72
calef.
calefac
panaskan
73
calid.
calidus
panas
74
caps.
capsulae
kapsul
75
caps.gel.el.
capsulae gelatinosae elasticae
kapsul gelatin lunak
76
caps.gel.op.
capsulae gelatinosae operculatae
kapsul gelatin dengan tutup
77
caut.
caute
hati - hati
78
cer.
cera
malam, lilin
79
chart.
charta
kertas
80
chart.par.
charta paraffinata
kertas paraffin
81
citiss.
citissime
sangat segera
82
cito
cito
segera
83
clarif.
clarificatio
dijernihkan
84
clysm.
clysma
klisma / obat pompa
85
co., comp., cps., cpt.,
compositus
majemuk
86
cochleat.
cochleatim
sendok demi sendok
87
cois., comm.
communis
biasa
88
colat.
colatura
sari, kolatur
89
collut.
collutio
obat cuci mulut
90
collyr.
collyrium
obat cuci mata
91
conc.
concentratus
pekat
92
concus.
concussus
kocok
93
consp.
consperge
taburkan
94
cont.
continuo
segera
95
coq.
coque
masak
96
cord.
cordis
jantung
97
cort.
cortex
kulit
98
crast.
crastinus
besok
99
crem.
cremor
krim
100
cryst.
crystallus
kristal
D.
101
d.
da
berikan
102
d.in 2plo
da in duplo
berikan dua kali jumlahnya
103
d.in dim
da in dimidio
berikan setengahnya
104
d.secund.
diebus secunde
hari kedua
105
d.seq.
die sequente
hari berikutnya
106
d.c.
durante coenam
pada waktu makan
107
d.c.form.
da cum formula
berikan dengan resepnya
108
d.d.
de die
tiap hari
109
d.s.
da signa
berikan dan beri tanda
110
d.s.s.ven.
da sub signo veneni
berilah dengan tanda racun
111
d.t.d.
da tales doses
berikan dalam dosis demikian
112
decanth.
decantha
tuangkan
113
decoct.
decoctum
rebusan
114
dep.
depuratus
murni
115
des.
desodoratus
tidak berbau
116
desinf.
desinfectans
desinfeksi
117
det.
detur
diberikan
118
dext.
dexter
kanan
119
dieb.alt.
diebus alternis
tiap satu hari berikutnya
120
dil.
dilutus / dilutio
diencerkan / pengenceran
121
dim.
dimidius
setengah
122
disp.
dispensa
berikan
123
div.
divide
bagilah
124
div.in.part.aeq.
divide in partes aequales
bagilah dalam bagian - bagian yang sama
125
dulc.
dulcis
manis
126
dup., dupl., dx.
duplex
dua kali
E.
127
e.c.
enteric coated
bersalut enterik
128
elaeos.
elaeosaccharum
gula berminyak
129
emet.
emeticum
obat muntah
130
empl.
emplastrum
plester
131
emuls.
emulsum
emulsi
132
enem.
enema
lavemen/klisma/obat pompa
133
epith.
epithema
obat kompres
134
evap.
evaporetur, evapora
diuapkan, uapkan
135
exhib.
exhibe
berikan
136
expr.
expressio, exprimatur, exprime
penekanan, ditekan, tekanlah
137
ext.s.alut.
extende supra alutam
oleskan pada kulit yang lunak
138
ext.s.cor.
extende supra corium
oleskan pada kulit yang keras
139
ext.ut.
externe untendum
pemakaian sebagai obat luar
140
extemp.
extempore
pada saat itu juga
141
extr.liq.
extractum liquidum
ekstrak cair
142
extr.sicc.
extractum siccum
ekstrak kering
143
extr.spiss.
extractum spissum
ekstrak kental
144
extr.ten.
extractum tenue
ekstrak kental cair
F.
145
f.
fac, fiat, fiant
buat / dibuat
146
far.
farina
tepung
147
f.c.vehic.apt.
fac cum vehiculum apto
buat dengan bahan pembawa yang cocok
148
fl.
flores
bunga
149
fol.
folia
daun
150
f.l.a.
fac lege artis
buatlah sesuai aturan
151
febr.dur.
febre durante
diwaktu demam
152
filtr.
filtra / filtretur
saring
153
form.
formula
susunan (resep)
154
fort.
fortius
kuat
155
frig.
frigidus
dingin
G.
156
g.
gramma
gram
157
gr.
grain
grain ( kira-kira 65 mg)
158
garg.
gargarisma
obat kumur
Singkatan
Kepanjangan
Arti
159
gel.
gelatina
gelatin
160
glob.
globulus
bundar
161
gran.
granulum
butir
162
gross
grosse
kasar
163
gtt.
guttae
tetes
164
gutt.aur.
guttae auriculares
tetes telinga
165
0.5 g.
semi gramma
setengah gram
166
1 g
gramma unum
satu gram
167
1.5 g
sesqui gramma
satu setengah gram
168
2 g
grammata duo
dua gram
169
3 g
grammata tria
tiga gram
170
4 g
grammata quattuor
empat gram
171
5 g
grammata quinque
lima gram
H.
172
h.
hora
jam
173
h.u.spat.
horae unius spatio
setelah satu jam
174
h.X.mat.
horae decima matutina
jam 10 pagi
175
h.m.
hora matutina
pagi hari
176
h.s.
hora somni
waktu tidur
177
h.v.
hora vespertina
malam hari
178
haust.
haustus
diminum sekaligus
179
hebdom.
hebdomada
untuk seminggu
180
her.praescr.
heri praescriptus
resep kemaren
181
hor.interm.
horis intermediis
diantara jam - jam
182
hui.form.
huius formulae
dari resep ini
I & J
183
i.c.
inter cibos
diantara waktu makan
184
i.m.
intra muskular
kedalam jaringan otot
185
i.m.m.
in manum medici
berikan pada dokter / di tangan dokter
186
i.o.d
in oculo dextro
pada mata kanan
187
i.o.s.
in oculo sinistro
pada mata kiri
188
in 2 vic.
in duabus vicibus
dalam dua kali
189
inj.
injectio
suntikan
190
instill.
instilla
teteskan
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
191
inter., int.
inter
antara
192
interd.
interdum
sewaktu - waktu
193
intr.d.sum.
intra diem sumendum
digunakan dalam satu hari
194
in vit.
in vitro
dalam tabung
195
in viv.
in vivo
dalam tubuh
196
iter.
iteretur
untuk diulang
197
iter.
iteratio
ulangan
198
i.v.
intra vena
kedalam pembuluh darah
199
jentac.
jentaculum
makan pagi
200
jej.
jejune
puasa, perut kosong
L.
201
l.a.
lege artis
menurut aturan
202
lag.gutt.
lagena guttatoria
botol tetes
203
lav.opth.
levementum ophthalmicum
larutan pencuci mata
204
ligand.
ligandus
harus diikat
205
lin.
linimentum
obat gosok
206
liq.
liquor
cairan
207
liq.
liquidus
larutan
208
loc.
locus
tempat
209
loc.aeg.
locus aeger
tempat yang sakit
210
loc.dol.
locus dolens
tempat yang nyeri
211
lot.
lotio
obat cuci / pembasuh
M
212
m.
misce
campurkan
213
m.et v.
mane et vespere
pagi dan malam
214
m.d.s.
misce da signa
campurkan, berikan tanda
215
m.f.
misce fac
campur dan buat
216
m.f.pulv.
misce fac pulveres
campurkan, buat powder
217
m.i.
mihi ipsi
untuk saya sendiri
218
m.p.
mane primo
pagi - pagi sekali
219
man.
mane
pagi hari
220
mixt.
mixtura
campuran
221
mod.praescr.
modo praescriptio
sesuai aturan
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
N.
222
n.
nocte
malam hari
223
n.dt., ndt., ne det.
ne detur
tidak diberikan
224
N.I.
ne iteretur
tidak boleh diulang
225
narist.
naristillae
obat tetes hidung
226
ne iter.
ne iteretur
jangan diulang
227
neb., nebul.
nebula
obat semprot
228
noct.
nocte
malam hari
229
non rep.
non repetatur
jangan diulang
O.
230
o. 1/4 h.
omni quarta hora
tiap seperempat jam
231
o.alt.hor.
omni alternis horis
tiap selang satu jam
232
o.b.h.
omni bihorio
tiap 2 jam
233
o.b.h.c.
omni bihorio cochlear
tiap 2 jam satu sendok makan
234
o.d.
oculus dexter
mata kanan
235
o.d.s.
oculus dexter et sinister
mata kanan dan kiri
236
o.h.
omni hora
tiap jam
237
o.m.
omni mane
tiap pagi
238
o.n.
omni nocte
tiap malam
239
o.s.
oculus sinister
mata kiri
240
o.u.
oculus uterque
kedua mata
241
oc.
oculus
mata
242
oculent.
oculentum
salep mata
243
omn.bid.
omni biduum
tiap 2 hari
244
ool.min.
olea mineralia
minyak mineral
245
ol.vol.
olea volatilia
minyak menguap/minyak atsiri
246
os., oris
oris
mulut
P.
247
p.aeq.
partes aequales
bagian sama
248
p.d.sing.
pro dosis singularis
untuk satu dosis
249
p.r.n.
pro re nata
bila diperlukan
250
p.c.
post coenam
setelah makan
251
p.m.
post meridiem
sore
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
252
part. Dol.
parte dolente
pada bagian yang sakit
253
past.dentifr.
pasta dentrificia
pasta gigi
254
per bid.
per biduum
dalam 2 hari
255
per trid.
per triduum
dalam 3 hari
256
per vic.
per vices
sebagian - sebagian
257
per.in.mor. / PIM
periculum in mora
bahaya bila tertunda
258
p.i.
pro injectio
untuk suntikan
259
pil.
pilula
pil
260
p.o.
per os / per oral
melalui mulut
262
pon. aur.
pone aurum
dibelakang telinga
263
pond.
pondus
timbangan / berat
264
pot.
potio
obat minum
265
pp., praec.
praecipitatus
endapan
266
prand.
prandium
sarapan pagi
267
pulv.
pulvis
serbuk
268
pulv.adsp.
pulvis adspersorius
serbuk tabur
269
pulv.dentifr.
pulvis dentrificius
serbuk untuk gigi
270
pulv.gross.
pulvis grossus
serbuk kasar
271
pulv.subt.
pulvis subtilis
serbuk halus
272
pulv.sternut.
pulvis sternutatorius
serbuk bersin
273
purg.
purgativus
obat kuras
274
pyx.
pyxis
dus
Q.
275
q.
quantitas
jumlah
276
q.dx.
quantitas duplex
2 kali banyaknya
277
q.h.
quaque hora
tiap jam
278
q.d.
quarter die
4 kali sehari
279
q.l.
quantum libet
banyaknya sesukanya
280
q.pl.
quantum placet
jumlah sesukanya
281
q.q.h.
quarta quaque hora
tiap 4 jam
282
q.s.
quantum satis / sufficit
secukupnya
283
q.v.
quantum vis
banyaknya sesukanya
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
284
R
285
R., Rp., Rcp.
recipe
ambil
286
rec.
recens
segar
287
rec.par.
recenter paratus
dibuat pada saat itu juga
288
reiter.
reiteretur
diulang kembali
289
rem.
remanentia
sisa
290
renov.semel.
renovetur semel
diulang satu kali
291
rep.
repetatur
untuk diulang
S.
292
s.
signa
tandai / tulis
293
S.a.
secundum artem
menurut seni
294
s.d.d.
semel de die
sekali sehari
295
s.n.s.
si necesse sit
bila diperlukan
296
s.o.s.
si opus sit
bila diperlukan
297
s.q.
sufficiente quantitate
dengan secukupnya
298
scat.
scatula
dus
299
se necess.sit
si necesse sit
bila perlu
300
sec.
secundo
kedua
301
semel
semel
satu kali
302
semi h.
semi hora
setengah jam
303
septim.
septimana
satu minggu
304
sesqui
sesqui
satu setengah
305
si op.sit.
si opus sit
bila perlu
306
sig.
signa
tulis / beri tanda
307
sin.
sine
tanpa
308
sine confect.
sine confectione
tanpa etiket aslinya
309
sing.
singulorum
dari tiap
310
sing auror.
singulis auroris
tiap pagi
311
s.c.
sub cutan
dibawah kulit
312
sol., solut.
solutio
larutan
313
solv.
solve
larutkan
314
stat.
statim
segera
315
steril.
sterillisatus
steril
316
subt.
subtilis
halus / tipis
317
sum.
sume, sumatur
ambillah
318
supr.
supra
di atas
No
Singkatan
Kepanjangan
Arti
T.
319
tct., tinct., tra.
tinctura
tingtur
320
t.d.d.
ter de die
tiga kali sehari
321
t.d.s.
ter die sumendum
dipakai tiga kali sehari
322
ter d.d.
ter de die
tiga kali sehari
323
ter in d.
ter in die
tiga kali sehari
324
trit.
tritus
gerus
325
troch.
trochiscus
tablet hisap
326
tuss.
tussis
batuk
U & V
327
u.a.
usus ante
seperti terdahulu
328
u.c.
usus cognitus
cara pakai diketahui
329
u.e.
usus externus
untuk obat luar
330
u.i.
usus internus
untuk obat dalam
331
u.n.
usus notus
cara pakai diketahui
332
u.p.
usus propius
untuk dipakai sendiri
333
u.v.
usus veterinarius
pemakaian untuk hewan
334
ult.prescr.
ultimo prescriptus
resep terakhir
335
ungt.
unguentum
salep
336
ungt.moll.
unguentum molle
salep lunak
337
urgens
urgens
segera
338
vas.
vaselin
vaselin
339
vasc.
vasculum
cangkir
340
vehic.
vehiculum
zat pembantu
341
vesp.
vespere
sore
342
vin.
vinum
anggur
343
virid.
viridus
hijau
342
vit.ov.
vitellum ovum
kuning telur
343
volat.
volatilis
menguap
Rabu, 15 Juli 2009
Jumat, 03 Juli 2009
DRUG RELATED PROBLEM
2.1. Definisi
Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara: mengobati penyakit pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan (Drug Related Problem).
Drug Related Problem (DRP) dapat didefinisikan sebagai kejadian tidak di inginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan.
2.2. Komponen DRP
Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut :
1. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien
Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability) atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
2. hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat
Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.
Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Menyelesaikan masalah
3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP
2.3. Klasifikasi DRP
2.3.1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
2.3.2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
- Amoksisillin
- Parasetamol
- Gliseril Guaiakolat
- Deksametason
- CTM
- Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya
- frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
- cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.
Durasi dari terapi
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.
2.3.3 Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.
2.3.4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.
2.3.5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
2.3.6 Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.
2. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
Mekanisme interaksi obat, yakni :
a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktifasi obat.
Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.
b. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiko kimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya. Misalnya, penggunaan ketokonazol dan paracetamol secara bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme paracetamol oleh ketokonazol sehingga kadar paracetamol meningkat.
c. Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Misalnya, penggunaan warfarin dan aspirin dapat meningkatkan terjadinya perdarahan.
Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara: mengobati penyakit pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan (Drug Related Problem).
Drug Related Problem (DRP) dapat didefinisikan sebagai kejadian tidak di inginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan.
2.2. Komponen DRP
Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut :
1. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien
Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability) atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
2. hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat
Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.
Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Menyelesaikan masalah
3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP
2.3. Klasifikasi DRP
2.3.1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
2.3.2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
- Amoksisillin
- Parasetamol
- Gliseril Guaiakolat
- Deksametason
- CTM
- Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya
- frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
- cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.
Durasi dari terapi
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.
2.3.3 Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.
2.3.4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.
2.3.5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
2.3.6 Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.
2. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
Mekanisme interaksi obat, yakni :
a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktifasi obat.
Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.
b. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiko kimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya. Misalnya, penggunaan ketokonazol dan paracetamol secara bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme paracetamol oleh ketokonazol sehingga kadar paracetamol meningkat.
c. Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Misalnya, penggunaan warfarin dan aspirin dapat meningkatkan terjadinya perdarahan.
Langganan:
Postingan (Atom)